Oleh Reva Dina Asri
Kertas putih bertuliskan Ketua Umum MKA LAM Riau bersender di lantai. Tepat di belakangnya pria berpakaian melayu berwarna hitam berpadankan hiasan kuning keemasan duduk bersila di lantai. Lengkap dengan tanjak berwarna senada menutup kepala. Pria itu adalah Datuk Seri Al Azhar. Ia dikenal sebagai: budayawan, sastrawan, aktifis, dan pemimpin Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Masyarakat (LAM) Riau.
Pakaian yang Ia kenakan sarat makna kepemimpinan negeri Melayu. Warna hitam melambangkan kesetiaan, ketabahan, bertanggung jawab dan jujur. Kuning keemasan memiliki filosofi kemegahan, dan kebesaran sang empunya. Makna yang lekat dengan jabatan seorang pemimpin. Datuk Seri Al Azhar selalu tampil lengkap berbusana Melayu dalam setiap gelaran acara adat.
Per 21 hingga 22 November 2020, menjadi kali terakhir Ia hadir bersila dalam musyawarah kerja tahunan LAM Riau. Tahun berikutnya, Al Azhar tak lagi memimpin musyawarah ini sebab pada Oktober 2021 setelah dirawat beberapa hari usai operasi empedu, Ia mengembuskan napas terakhir.
Tak mudah menghapus rekam kepemimpinan Al Azhar dibenak masyarakat Melayu. Masyarakat mengenalnya sebagai Datuk yang kerap menjemput langsung amanat maupun aspirasi masyarakat. Jarak yang jauh tak pernah jadi halangan baginya untuk bertatap muka.
Hal ini turut diamini oleh Taufik Ikram Jamil sebagai rekanan dalam memimpin LAM Riau. Ia menjabat sebagai Sekretaris Umum mendampingi Datuk Seri Al Azhar. Menurutnya Al Azhar kerap menelusuri kampung-kampung adat di seluruh Kabupaten, Provinsi Riau.
“Beliau adalah pemimpin dengan gaya modern namun menggunakan pendekatan tradisional,” kata Taufik Ikram Jamil saat di halaman Masjid Akramunnas usai melaksanakan salat Zuhur. Al Azhar juga aktif berdiskusi dengan siapapun tanpa mengenal batas.
Taufik kenal betul karkter Al Azhar. Ia sudah bercengkrama sejak keduanya sama-sama belajar di Universitas Riau (Unri). Mereka mengambil jurusan pendidikan bahasa dan sastra indonesia saat menyelesaikan sarjana. Lalu hijrah ke Leiden University, Belanda, mendalami ilmu filologi Melayu.
Saat kuliah Al Azhar sudah akrab dengan pergerakan. Ia adalah aktivis kampus yang mengikuti berbagai organisasi. Salah satu jejaknya bergabung dalam gerakan Riau Merdeka pada penghujung orde baru. Temannya, Tabrani Rab menjadi penggagas gerakan ini sebab kecewa pada pemerintah pusat. Kala itu, Riau menjadi Provinsi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia. Sebagai seorang aktivis yang juga akrab dengan budaya dan sejarah, Al Azhar tahu Riau punya potensi alam. Ia ingin menepis keadaan ini. Musabab Riau adalah provinsi dengan hasil sumber daya alam melimpah.
Tambang-tambang minyak Riau tiap harinya mengeruk minyak bumi, bertolak belakang dengan nasib rakyatnya. Ditambah perlakuan pemerintah pusat yang semena-mena dalam mengatur pendapatan, Riau hanya dapat dampak tambang.
Saat itu Habibie menjabat sebagai Presiden Indonesia. Ia lalu menanggapi tuntutan Tabrani dan kawan-kawan. Gerakan Riau Merdeka berbuah manis, pintanya diamini oleh pemerintah pusat. Mereka menyepakati, 15 persen hasil dari pertambangan minyak bumi dan gas diperuntukkan bagi daerah penghasil.
Tak berhenti di sana, saat Chevron kehabisan masa kontrak tambangnya, Al Azhar kembali unjuk gigi. Tepatnya dua bulan sebelum menghembuskan napas terakhir, ia bersama pimpinan LAM seluruh Kabupaten mendatangi Gubernur Syamsuar untuk meminta 39 persen hasil minyak bumi ini dikelolah oleh Badan Usaha Milik Adat (BUMA).
Selama hidupnya Al Azhar tak pernah surut membela hak-hak masyarakat adat Riau. Hampir tak ada satupun namanya alpa dari perjuangan adat, hutan tanah dan lingkungan hidup.
“Kepemimpinannya menjunjung nilai-nilai kearifan lokal,” kataTaufik.
Tak hanya minyak dari perut bumi, ia juga acap kali menilik kelapa sawit yang tumbuh di atas perut bumi Melayu. Saat ini, jutaan hektare lahan di Riau ditumbuhi kelapa sawit. Tumbuhan ini menjadi primadona petani Riau. Sayangnya, kepemilikan petani tak seimbang dengan korporasi yang menguasainya.
“Kenalilah lingkunganmu, generasi milenial meski mengambil peran yang dulu juga kami lakukan,” pesan Al Azhar.
Ia menyebut banyak perusahaan perkebunan di Riau berstatus ilegal sebab tak mengantongi izin pengolahan. Sekalipun memiliki izin, banyak pula korporasi yang merambah melewati batas hak guna usahanya. Sehingga lagi-lagi lahan dan hak masyarakat dirampas.
Perampasan ini kerap menimbulkan konflik dan tak jarang menjadi bomerang bagi masyarakat. Salah satu cara untuk mengamankannya ialah melahirkan peraturan yang menjamin hak masyarakat adat dan aturan tanah ulayat.
“Konflik akan terus bertambah dan menjadi ancaman serius bagi keamanan Riau. Kita membutuhkan payung hukum khususnya untuk melindungi masyarakat tempatan,” kata AL Azhar 2008 silam dalam sebuah wawancara dengan Tempo. Hal ini mengacu pada munculnya 1.789 kasus konflik lahan di Riau yang 76 persen diantaranya menyangkut perebutan lahan oleh perusahaan.
Enam tahun kemudian, DPRD Riau mengesahkan Perda Provinsi Riau Nomor 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Perda ini menjadi angin segar saat rancangannya muncul. Kemudian diam-diam Perda disahkan tanpa meminta usulan dari masyarakat adat.
“Sungguh saya kaget saat tahu Perda ini sudah disahkan DPRD Riau,” ucap Al Azhar saat diwawancara media 2016 silam.
Keterkejutan Al Azhar karena anggota Dewan menjanjikan akan membuat sebuah dialog mengenai Ranperda ini. Ingkar janji, DPRD tiba-tiba ketuk palu tanpa berdiskusi dahulu.
Membuat aturan tanpa berdiskusi dengan subjek yang diatur adalah sebuah kesia-siaan dan sarat akan kepentingan politik praktis. Perda ini juga banyak mereduksi dan merampas hak masyarakat adat ditambah ancaman kriminalisasi.
LAM Riau kemudian berdiskusi dengan lintas ilmu membahas peraturan ini. Benar saja, selain cacat administrasi, Perda ini juga banyak menambah dan mengurangi usulan awal dari draft rancangan. Forum ini kemudian sepakat untuk melakukan tinjauan ulang lewat judicial review kepada Mahkama Agung.
Sejatinya tanah ulayat di Riau terbagi menjadi tiga. Pertama, tanah tersurat artinya tanah yang dikuasai oleh sultan atau Raja di Riau. Kedua, tanah ulayat yang ditempati oleh suku setempat. Biasanya tanah ini hak kuasanya diserahkan pada ninik mamak atau datuk-datuk. Ketiga, tanah hayat yaitu tumpukan pasir yang membentuk sebuah pulau.
Sebagai pimpinan majelis kerapatan adat, Al Azhar memang memiliki kuasa untuk menyelesaikan sengketa lahan di masyarakat. Salah satunya, saat Jikalahari melaporkan adanya kriminalisasi masyarakat adat sakai bernama Bongku. Ia yang hanya menebang beberapa 20 batang akasia di tanah nenek moyangnya di penjara. Bongku menebang bukan untuk menjual, Ia ingin menanaminya kembali dengan ubi sebagai makanan pokok Suku Sakai. Namun, hal ini tak diterima oleh PT Arara Abadi. Al Azhar kemudian meminta penjelasan dari korporasi kertas tersebut dan menjenguk keluarga Bongku.
Begitulah cara Al Azhar memimpin. Setiap ada konflik menyinggung masyarakat adat Ia akan turun langsung ke lokasi konflik. Meski prosesnya akan menyita waktu dan tenaga berlebih dan belum tentu dimenangkan. Kepiawaiannya memimpin banyak diakui oleh masyarakat adat Riau.
“Bahkan masyarakat adat Bonai menganggap Al Azhar adalah Presiden, sehingga semua perkataan dan nasihatnya dituruti,” tambah Taufik Ikram Jamil.
Kepercayaan suku Bonai kepada Al Azhar tak timbul tiba-tiba. Sebab dialog dan kehadiranya di tengah masyarakat saat konflik dan silahturahmilah yang menjadikannya dipandang masyarakat Bonai, Rokan Hulu.
Selain melawan lewat hukum dan tuntutan, Al Azhar adalah sastrawan yang hebat. Ia melahirkan banyak karya kesusatraan Melayu. Seperti syair-syair, pantun dan tunjuk ajar. Menurut Taufik karya-karyanya terinspirasi dari perjalanannya membela masyarakat dan lingkungan. Sehingga diksi-diksi yang dipakai acap kali berkisar tentang lingkungan.
“Dalam penelitiannya, 80 persen sampiran pantun menggunakan flora dan fauna,” lanjut Taufik.
Kecintaan Al Azhar pada budaya Melayu masih mengalir hingga mendekati hari akhirnya. Diva anak bungsunya katakan saat masih dalam perawatan rumah sakit, ayahnya sempatkan untuk tetap mengajar budaya melayu di kampus magisternya, Leiden University melalui daring.
“Teruskan perjuangan ini, teruskan, teruskan,” adalah pesan yang diingat Taufik Ikram Jamil di hari jelang wafatnya Datuk Seri Al Azhar.***