Kelak, Kuburan Pun Harus Dibeli

Berjuang demi menyelamatkan hutan tanah tersisa
Oleh Reva Dina Asri

“Aku mau pensiun dari PNS Pendidik, berhenti jadi kepala sekolah dan guru,” ucap Bustamir kepada istrinya Eli Burzami.

Bagai petir di siang bolong, Eli kaget dan tak mengamini pinta Bustamir. Anak-anak yang masih berusia belia jadi alasan Eli untuk menyanggah kemauan sang suami. Tapi Bustamir kekeh ingin menyudahi karir sebagai pegawai negeri. Musababnya omset usaha kayu miliknya meningkat pesat, digadang-gadang sebagai produksi balak kayu terbesar di kampung.

“Aku mau jadi pimpinan, memimpin bukan lagi dipimpin,” sambung Bustamir.

Dengan pelbagai pertimbangan akhirnya Eli luluh. Ia hapal betul karakter suaminya, Bustamir memang berwatak keras dan teguh akan pendirian. Tak mudah goyah jika sudah memiliki pilihan.

Bertahun-tahun pembalakan kayunya terus berkembang. Tujuh anaknya hidup sejahtera dari hasil hutan itu. Hingga Rini Gustiarni-putri keempatnya menyelesaikan sekolah menengah atas. Rini meminta izin untuk melanjutkan pendidikan ke kota Pekanbaru.

Rini belajar di Universitas Lancang Kuning (Unilak) dan memilih jurusan Kehutanan. Anaknya kerap menasehati sang ayah bahwa bisnis pembalakan yang selama ia geluti tak sejalan dengan ilmu yang ia pelajari di perkuliahan.

“Mereka jadi sering debat, ayah dan anak berlawanan perkara hutan,” kata Eli Burzami mengkilas balik ingatan.

Bustamir disadarkan oleh anaknya yang kerap menasehati sang ayah bahwa bisnis pembalakan yang selama ia geluti tak sejalan dengan ilmu yang ia pelajari di perkuliahan

Diakhir masa studinya, Rini Gustiarni berikan undangan kepada ayah dan ibu untuk menghadiri wisuda. Rini berhasil menjadi lulusan pemuncak di Unilak. Keberhasilan ini membuat orang tuanya punya ruang khusus untuk melihat sang anak berpindah pita toga.

“Kami terharu, duduk di ruangan VIP bersanding dengan orang-orang kota,” kata Eli.

Bustamir turut haru, prestasi putrinya semakin membuat Bustamir gundah dengan bisnisnya.

Keinginan Bustamir untuk menyudahi bisnis balaknya semakin meruncing. Kala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Bustamir pun angkat kaki dari bisnis pembalakan hutan. Anak-anaknya juga sudah sukses ia sekolahkan. Tersisa si bungsu yang masih mengenyam bangku sekolah. Kebanyakan mengikuti jejak kepala keluarga mereka yakni menjadi guru, yaitu Marlina, Purwanti termasuk Rini. Sisanya berbisnis, yakni Lasmita, Nanang Hidayat, Putra Senolima dan Intan Sukmawati. 

Usai menyudahi bisnis balak kayu, kini peran Bustamir sebagai Khalifah semakin dibutuhkan. Bebas dari pembalakan liar masyarakat nyatanya tak serta merta membuat hutan terlindungi. Perusahaan mulai merambah hutan adat yang selama ini dijaga Bustamir.

Bustamir tunjukkan taringnya dalam melawan korporasi yang hendak membabat hutan. Lambat laun Bustamir kedatangan beberapa tamu yang ingin memberi dukungan mempertahankan hutan.

“Beberapa LSM berdatangan mendatangi Bustamir seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN termasuk juga Jikalahari,” kata Efrianto teman berjuang Bustamir yang juga aktif di AMAN Riau.

Kedatangan Lembaga Swadaya Masyarakat ini karena kegusaran atas masuknya korporasi ke Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau. Mereka adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Kebun Pantai Raja atau KPR. Sejatinya, perusahaan-perusahaan ini turut mendatangi Bustamir.

Upeti yang ditawarkan kepada Bustamir tak pernah ia kantongi. Keluarganya hapal betul di hari-hari menjelang hari raya akan datang amplop-amplop untuk Bustamir.

“Ayah selalu menolak amplop yang diberikan,” kata Intan.

Suatu hari amplop itu datang lewat Kepala Desa, datang langsung ke rumah keluarga Bustamir. Ia lalu memerintahkan Intan untuk mengembalikannya ke kantor desa. Intan tak tahu berapa jumlah gepokan uang di amplop itu. Tapi menurut Intan cukup tebal.

Bukan tanpa sebab, Bustamir menolak upeti ini. Ia tahu betul keinginan korporasi yang sengaja memancing hati masyarakat lewat pemuka adat demi melancarkan bisnisnya. Bustamir tak suka hutan adat dan tanah ulayat milik kenegerian Kuntu digarap korporasi. Ia takut kampungnya akan dijajah oleh orang asing. Membalikkan posisi masyarakat adat sebagai pendatang di tanahnya sendiri.

Tak mudah perjuangan Bustamir untuk menjaga hutannya. Ia lalu konsentrasi menyatukan gerakan bersama AMAN Riau. Efrianto menemaninya menyusun segala strategi yang dibutuhkan. Kedekatan mereka sejak lama terjalin, sebab ayah Efrianto juga teman Bustamir. Mereka sesama tenaga pendidik di sekolah.

Bustamir hapal betul luasan tanah ulayat milik adat Kuntu. Ia memegang peta wilayah adat, selain itu khalifah bergelar Datuk ini juga acap kali menuntut ilmu ke para tetua. Ia khatam akan aturan adat di kerjaan Gunung Sahilan dan luasan wilayahnya. Bustamir juga menyimpan berkas-berkas sejarah kampung dan kerjaan Gunung Sahilan.

Perambahan hutan oleh korporasi mengundang bencana banjir tiap musim penghujan tiba.

“Kalau banjir barang pertama yang ia selamatkan ya berkas berkas ini,” kata Eli Burzami sambil memegang dua berkas bertuliskan arab melayu.

Peta wilayah Kuntu Turoba menjadi dasar bagi Bustamir untuk menentang Perusahaan. Ia dibantu Efrianto untuk membaca peta itu untuk mencari kesimpulan.

Dari total 280.500 hektar kawasan hutan produksi dan hutan tanaman industri milik PT. RAPP, diperkirakan 1700 hektarnya berada dalam kawasan hutan kesatuan masyarakat adat kenegerian Kuntu. Perkara ini lalu disusun oleh Efrianto dalam sebuah berkas gugatan ke Mahkama Konstitusi Republik Indonesia.

“Menuntut untuk dikembalikannya hutan adat Kuntu kepada masyarakat,” kata Efrianto.

Bustamir tak sendiri, ia berdampingan dengan Okri dari Kesatuan Adat Banten Kidul dengan gugatan yang sama. Mereka menggugat lewat AMAN yang diwakili oleh Abdon Nababan.

Sepanjang pengurusan inilah silih berganti ancaman datang kepada Bustamir. Tak hanya Bustamir, kadang kala ancaman menjurus pada keluarganya.

Apa bentuk ancamannya? Eli ogah menjawab. Matanya langsung memalingkan pandangan. Sepertinya Eli masih menyimpan trauma akan itu. Saat bertanya pada Intan, saat ibu berpamitan untuk salat zuhur.

Air mata Intan tiba-tiba menetes mengingat masa-masa sulit itu. Suatu kali Intan tak sengaja membaca pesan masuk di telepon genggam milik ayahnya. Dari kontak nama, pengirim bukanlah orang asing. Intan mengenalnya sebagai salah satu abdi Negara. Ia meminta Bustamir untuk tidak ikut campur dalam pengambilan lahan oleh perusahaan.

“Pokoknya pesan itu isinya kata-kata kasar. Jangan ikut ikut campur lagi masalah itu. Nanti kami bawa ketempat gelap (Penculikan),” ucap Intan sambil terisak.

Usai salat ibu Intan menyambangi saya, ia memegang pundak saya sembari katakan ancaman begitu acap kali datang. Bahkan orang-orang desa Kuntu tak sedikit yang memusuhinya. Beberapa warga kampung memang berselisih paham dengan Bustamir, mereka mengira Datuk Khalifah mendapat upeti besar dari perusahaan dan tidak berbagi.

Padahal tak sekalipun Bustamir mengamini titah perusahaan apalagi menerima upeti.

Meski banyak aral melintang, nyatanya kegigihan Bustamir berbuah manis. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatannya lewat Putusan MK Nomor 35 tahun 2012. Putusan mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Pun lahan milik Kuntu seluas 1700 hektar.

Dalam putusannya MK tegaskan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan Negara.

Putusan ini mengharumkan nama Bustamir di Nasional, terutama AMAN. Sayangnya, tak begitu terdengar di Desa Kuntu. Mereka tak tahu menahu bahkan abai dengan perjuangan Bustamir.

Bustamir di gedung Mahkamah Konstitusi untuk menghadiri sidang gugatan

“Banyak yang mengucapkan terima kasih kepada datuk atas kembalinya lahan miliknya usai terbitnya MK 35,” kata Eli mengingat ramainya tamu mengunjungi rumah mereka.

Tak berselang lama, kenyamanan hati keluarga Bustamir kembali diusik. Suatu siang, Bustamir kedatangan tamu dari LSM usai terdengarnya kabar perusahaan kembali masuk hutan adat. Selain itu diduga ada sangkut paut unit kehutanan di dalamnya. Di tengah berdiskusi, Bustamir mendapat pesan bahwa sebuah alat berat tengah beroperasi di hutan adat Kuntu.

Ia langsung pamit dan mengecek kebenaran pesan itu seorang diri. Benar saja, sebuah alat berat bekerja menebang hutan. Ia terus memantau untuk pastikan maksud para pekerja.

Nasib buruk menimpa Bustamir, tiba-tiba segerombolan masyarakat desa datang dan menuduhnya menjadi dalang peristiwa itu. Warga bersikukuh tindakan ini sudah berdasarkan komando dari Bustamir. Mencomot lahan adat dan menjual kepada asing. Tak hanya itu, warga juga menduga tamu Bustamir selama ini adalah pihak perusahaan yang membeli hutan adat dan tanah ulayat.

Kondisi memanas, warga terprovokasi bahkan membakar sebuah mobil yang tak jelas milik siapa. Efrianto yang mendengar kabar itu langsung bergegas dari Subayang untuk memboyong Bustamir ke Ibu Kota. Jauh dari amukan masyarakat adat Kuntu. Bustamir berdiam pada sebuah pesantren di pinggiran kota Pekanbaru selama satu bulan.

 “Itulah hal paling kejam yang pernah keluarga kami rasakan, tidak mengenai fisik tapi justru lebih dari itu,” pungkas Intan.

Eli Burzami dan anak-anaknya bergiliran menjenguk sang ayah.

 “Kami ketakutan karena ancaman banyak berdatangan,” tambahnya.

Akhirnya kebenaranpun terungkap, Bustamir memang tak tahu menahu atas kedatangan alat berat yang bekerja itu. Warga yang menyesali tuduhannya hendak dibawa ke pengadilan oleh Bustamir. Ia ingin menuntut atas dugaan pencemaran nama baik yang sudah mengancam ketentraman keluarganya.

Saat memperjuangkan gugatan MK 35, banyak ancaman yang diterima Bustamir

Namun, Eli Burzami tak mengamini langkah Bustamir. Atas bujukan keluarga, Bustamir pun menutup tuntutannya tersebut.

“Biar sajalah mereka begitu, yang penting Allah tahu kebenarannya,” ucapnya.

Ia sempat berpesan pada Eli dan anak-anaknya untuk terus berada pada kebenaran meskipun hanya sendiri dari pada ramai tapi berpihak pada kesalahan. Sejak itu warga tak lagi mengusik keluarga Bustamir.

Maret 2015, Bustamir dapat undangan untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional di Papua. Namun, kepergian ini tak direstui keluarga mengingat kondisi Bustamir mulai lemah karena batuk yang cukup lama.

“Jangan pergi yah, papa sudah sakit-sakitan,” ucap Intan. Namun tak digubris oleh sang ayah. Akhirnya Bustamir tetap melenggang ke Papua ditemani oleh Efrianto.

Eli bilang keinginan suaminya untuk berangkat ke rapat AMAN itu besar sekali. Ia memang suka berbagi cerita dan menambah wawasan budaya dan adat. Lewat pertemuan AMAN jadi salah satu wadahnya.

“Ayah suka mendalami ilmu tentang budaya dan suku adat istiadat. Wawasannya cukup luas,” Intan tahu karena dia kerap melihat tamu ayahnya datang dan bertanya tentang adat-istiadat. Pengetahuan tentang Kuntu Bustamir dapatkan dari mulut ke mulut tetua, hikayat yang diberikan oleh orang tuanya.

Sepulangnya dari Rakernas AMAN kondisi Bustamir masih seperti biasa. Batuknya juga dalam kondisi normal, tidak menaruh curiga pada penyakit.

Namun pertengahan Juni 2015 kondisi batuk Bustamir kian parah. Bustamir perokok aktif, ia mengira batuknya berhubungan dengan itu. Senin pagi ia menyetir dan memboyong putri sulungnya-Lasmita untuk menemani ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru.

Usai diperiksa, dokter tak langsung ungkapkan diagnosisnya ke Bustamir. Ia memilih memanggil Lasmita untuk berbicara di ruang lain. Syak wasangka kondisi ayah berbahaya.

“Dokter mendiagnosis ayah kanker hati,” ucap Intan mengingat kejadian tujuh tahun silam itu. Mulut Intan terbata-bata untuk menyambung kalimat berikutnya.

“Dioperasi juga percuma, kanker sudah menyebar di hati ayah dengan kondisi stadium 4,” lanjut Intan. Penyakit kanker hati tak pernah terbayangkan oleh keluarga. Sebab Bustamir masih aktif bepergian dan diskusi dengan tamu-tamunya. Tak sekalipun ia mengeluh batuknya parah.

Tak sampai satu pekan, 3 hari kemudian usai diagnosis Datuk Khalifah Bustamir wafat. Jumat pagi proses pemakaman dimulai, saat itu pula gelar Khalifah Kuntu lepas dari Bustamir.

Kepergian Datuk Bandaro membuat duka bagi AMAN Riau. Begitu juga kerajaan Gunung Sahilan. Teman-temannya membanjiri kediaman Bustamir.

Efrianto jadi salah satu teman yang merasa paling kehilangan. Efrianto kehilangan sosok yang sabar dan penuh kobaran dalam memperjuangkan masyarakat adat. Terlebih sosok pengganti Khalifah dirasa belum mewarisi kegigihan Bustamir. Mereka sempat bekerja sama namun akhirnya Khalifah Kuntu itu menarik diri dari AMAN Riau.

“Kecewa dengan usaha yang dikeluarkan tapi pengakuan tak kunjung didapat,” kata Efrianto.

Kini, tak ada lagi Bustamir yang akan berdiri tegak mengusir perusahaan. Juga taka da khalifah yang teguh menolak sogokan untuk mencomot hutan adat. Sang datuk sudah berpulang, dengan peninggalan sebuah pengakuan hutan.

Kepergian sang Khalifah justru membuat warga semakin mudah untuk menjual tanah ulayatnya. Semakin merdeka memperdagangkan warisan nenek moyang. Belakangan beberapa warga Kuntu juga sempat di bui atas tindakan penjualan hutan dan isinya. Intan dan ibunya mengaku tak bisa ambil peran. Mereka memilih untuk memberi nasihat. Meski acap kali omongannya tak dihiraukan.

Perjuangan sang ayah sudah padam. Mereka khawatir ketakutan-ketakutan akan kehilangan tanah ulayat akan terjadi. Hingga merasa asing di negeri milik nenek moyang.

“Kelak jika semua tanah ulayat milik desa terjual kepada asing, untuk kuburan pun kita harus membeli,” tutur Eli Burzami menirukan ucapan Bustamir. ***

Untuk Kampung

Untuk Kampung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *