Lebih baik saya mati ditembak

Pemimpin Suku Talang Mamak yang memilih mati ditembak daripada harus melihat hutan turun temurun sukunya habis dibabat dijadikan kebun sawit.

Oleh Nurul Fitria

TUBUH RINGKIH ITU TERBARING TELENTANG DI KASUR. Rambut putih yang menipis, kulit sawo matang yang menggelap dan keriput menyelimuti tubuhnya yang sudah tak lagi muda. Sesekali matanya menerawang dan mulutnya bersiap untuk mengeluarkan kata-kata yang terpendam di hatinya. Badannya sudah renta dan sakit-sakitan, namun banyak hal mengganggu pikiran dihari tua ini. Bola matanya bergerak-gerak mencari objek yang hendak ia ajak bicara. Sambil berbaring, ia menemukan lelaki muda yang tengah duduk di sampingnya.

“Ooo Gilung, macam mana la kampung awak ni jadinya. Anak cucu tak lagi mau belajar soal adat istiadat kita, hutan awak pun dah habis kene tumbang. Sedih hati ini. Bersama lah engkau dengan abang kau selamatkan hutan kita ni,” ucap lelaki tua tersebut, tersengal dan sesekali menarik nafas.

Patih Laman diusia yang telah senja, masih semangat memberikan petuah kepada anak cucu untuk terus menjaga lingkungan dan adat istiadat

Gilung, orang yang ia ajak bicara adalah cucu kemenakannya. Mendengar ucapan lirih tersebut, menetes air matanya. Dalam kondisi sakit, badan yang sudah ringkih, lelaki tua ini masih saja memikirkan kondisi kampung dan sukunya. Gilung sembari meneteskan air mata, menanggapi keresahan lelaki tersebut. Sampai tengah malam mereka bercerita panjang lebar menyoal adat istiadat, rencana-rencana besar yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan adat dan hutan mereka. Hutan dan adat istiadat milik Suku Talang Mamak.

Sampai bermalam-malamlah aku di rumah gaek tu menemani becerita soal kampung kami ni,” kata Gilung—kini ia menjadi Ketua AMAN Indaragiri Hulu—mengenang kejadian 10 tahun silam, pada 2012 malam, ia menemani Patih Laman yang berkeluh kesah soal hutan yang hilang dan adat Suku Talang Mamak yang mulai redup.

SUKU TALANG MAMAK TERMASUK SUKU ASLI MELAYU TUA YANG BERADA DI INDRAGIRI. Sebagian Wilayah adat suku ini tersebar di Kecamatan Rakit Kulim yang meliputi Kampung Talang Durian Cacar, Talang 7 Buah Tangga, Talang Selantai, Talang Perigi, Talang Kadabu, Talang Parit, Talang Sungai Limau dan Talang Pringjaya.

Sedangkan di Kecamatan Batang Cenaku meliputi Kampung Pejangki, Aur Cina, Cenaku Kecil, Menggayahan, Sanglap, Alim, Sipang dan Anak Talang. Pemimpin dari tiap suku ini ada yang disebut Batin, Patih, penghulu, Rio ataupun Dubalang. Selain di dua kecamatan ini, masih ada Suku Talang Mamak yang tersebar di Kecamatan Batang Gansal, Seberida dan Rengat Barat. Sebagian kecil lainnya tersebar di Provinsi Jambi.

Sehari-hari, masyarakat Suku Talang Mamak berladang dan berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka akan menanam karet, padi dan tanaman semusim. Mereka sepenuhnya bergantung dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan. Bagi mereka, tanah dan hutan merupakan bagian dari kehidupan mereka yang tak dapat dipisahkan. Untuk pemanfaatan hutan tanah ini, Suku Talang Mamak memiliki aturan adat, dimana Kawasan hutan adat adalah Kawasan dengan kepemilikan komunal.

Patih Laman menjelaskan tentang cara Suku Talang Mamak menyadap karet kepada para peneliti dari Jepang

Kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak mulai terancam sejak adanya ekspansi besar-besaran industri hutan kayu dan perkebunan sawit. Mereka mulai kehilangan hak untuk mengelola hutan dan tanah milik.

Data dari Dinas Penanaman modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Indragiri Hulu, hingga Februari 2017 terdapat 30 Izin Usaha Perkebunan (IUP) di Inhu yang banyak tumpang tindih dengan wilayah adat Suku Talang Mamak. Terutama di Teluk Jerinjing, Pejangki, Kelesa, Pangkalan Kasai, Batang Cenaku, Sungai Parit, Sungai Lala, Batang Cenaku dan Rengat BaratKonflikpun tak terhindarkan. Masyarakat tetap ingin mengelola lahan, korporasi-korporasi telah menguasai tanah mereka untuk ditanami sawit.

“Saat itu semua mulai risau, ladang sudah berangsur hilang, hutan mulai rata dengan tanah diganti sawit-sawit,” kata Gilung, “Datuk Laman yang kuat memperjuangkan ini. Dia tolak itu semua perusahaan, sampai buat pondok di tengah hutan untuk protes.”

PATIH LAMAN LAHIR DI DESA DURIAN CACAR RAKIT KULIM PADA 1916. Sebenarnya Namanya hanya Laman, namun selaku pemimpin tertinggi di Suku Talang Mamak, ia diberi gelar Patih. Sosok ayah dari 5 anak ini sangat dihormati hingga kini oleh masyarakat Suku Talang Mamak. Ia menjadi tokoh yang sangat paham adat istiadat dari Suku Talang Mamak dan teguh pendirian untuk menyelamatkan hutan adat miliki sukunya ini.

Gaek ni berani betol, sampai dah diancam nak dibunuhpun tak ada takutnya,” cerita Gilung.

Keberanian-keberanian dari suami Saeyam ini sungguh tak ada habis-habisnya. Saat penebangan kayu liar sedang marak-maraknya dilakukan, Patih Laman dengan berani berdiri menghadang truk besar yang membawa kayu alam gelondongan tersebut. Ia memerintahkan agar kayu-kayu diturunkan karena diambil tanpa izin dari hutan adat Suku Talang Mamak. Laman sudah habis kesabarannya menghadapi penjarah kayu-kayu hutan Talang Mamak. “Hutan ini tempat anak kami belajar, turunkan kayu itu, kalau tidak langkahi dulu mayat saya,” cerita Patih Laman kala itu[i].

Patih Laman menyambut para peneliti dari Jepang yang tertarik menelisik lebih dalam soal adat istiadat menjaga hutan dan tanah khas Suku Talang Mamak

Sikap berani Patih Laman berjuang mempertahankan hutan tanahnya bukanlah isapan jempol belaka. Aksi-aksinya bahkan membawanya menjadi tokoh penting dari Suku Talang Mamak yang mendapatkan penghargaan Internasional dari World Wide Fund (WWF) International for Conservation pada November 1999. Ia mendapat penghargaan sebagai tokoh yang berhasil mempertahankan Kawasan hutan beserta adat istiadat masyarakat yang dipimpinnya. Ia berangkat ke Sabah, Malaysia untuk menerima penghargaan ini.

Setelah mendapat penghargaan, keberanian Patih Laman pantang surut. Aksi protesnya masih terus berlanjut kala pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan izin perkebunan sawit semakin meraja lela di Kawasan hutan adat Suku Talang Mamak.

Bahkan demi melakukan protesnya, ia mendirikan pondok kayu di tengah hutan yang rencananya akan dijadikan perkebunan sawit. Pondok seadanya yang menjadi tempatnya duduk ‘bersemedi’ selama 3 minggu, wujud protesnya atas kebijakan pemerinta. Namun aksi ini tak bisa ia lanjutkan karena kondisi tubuhnya yang sudah renta. Kala itu usianya telah menginjak 90 tahun dan karena sakit, akhirnya ia harus dibawa kembali ke kediamannya.

Bahkan atas keberaniannya menolak keputusan pemerintah memberikan pelepasan kawasan hutan kepada korporasi, ia dikecam sebagai pemberontak oleh Gubernur Riau, Soeripto. Namun tak ada ketakutan yang dirasakan Patih Laman. Ia tetap menyuarakan penolakannya.

Atas tindakannya tersebut, Patih Laman kembali memperoleh penghargaan Kalpataru dari Presiden RI, Megawati Soekarno Putri pada 5 Juni 2003 di Istana Merdeka. Kalpataru merupakan penghargaan yang diberikan kepada perorangan atau kelompok yang berjasa dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. Patih Laman dinilai sebagai tokoh perintis yang mampu menggerakkan Suku Talang Mamak untuk mempertahankan hutan adat. Meski ia orang tua yang buta huruf, tapi ia dinilai sebagai orang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi dan berhasil menggerakkan banyak orang.

Tak hanya menyoal melindungi hutan, Patih Laman juga memiliki kepedulian atas keberlangsungan adat istiadat Suku Talang Mamak. Menurutnya, tak hanya hutan yang harus diperhatikan, namun nilai-nilai adat yang mereka anut pun harus diwariskan turun temurun. Karena nilai-nilai adat yang mulai luntur dapat berpengaruh pada kondisi hutan tanah Suku Talang Mamak.

KEKHAWATIRAN TERBESAR PATIH LAMAN MENJADI KENYATAAN JELANG AKHIR HAYATNYA. Protes-protesnya terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro natura tak sampai mengetuk pintu hati pembuat kebijakan. Hutan yang berusaha ia lindungi kian hari terus menghilang dihadapannya. Tegakan-tegakan kayu besar yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat Suku Talang Mamak, satu per satu mulai hilang digantikan tanaman sawit.

Kesedihan melanda Patih Laman. Hatinya sudah tak tahan lagi memendam kekesalan dan akhirnya pada 2010 Patih Laman mengajukan untuk mengembalikan Kalpataru kepada pemerintah. Ia merasa tidak berhak untuk menerima penghargaan tersebut. “Karena hutan sudah habis ditebang, artinya ia tidak berhasil mempertahankan hutan yang harusnya dia jaga. Kecewa terhadap tindakan pemerintah adalah alasan dia untuk mengembalikan Kalpataru itu,” cerita Gilung.

Patih Laman mengundang wartawan dan berdiri di pondok yang sempat ia gunakan untuk melakukan protes. Sambil diwawancara, ia sampaikan niatannya untuk mengembalikan Kalpataru tersebut kepada pemerintah. Pondok yang dahulu ia gunakan untuk ‘bersemedi’ selama 3 minggu itu menjadi saksi perjuangannya yang ia nilai sia-sia. Di depan pondok yang tinggal tiangnya saja yang berdiri tanpa atap, dinding dan lantainya yang hanya tersisa kayu-kayu kecil, ia menyampaikan kekecewaannya.

Kecewa karena hutan adatnya habis dibabat dijadikan kebun kelapa sawit, Patih Laman hendak mengembalikan Kalpataru kepada pemerintah

“Lebih baik saya mati ditembak bila hutan kami yang tersisa inipun dijadikan kebun kelapa sawit,” ujarnya sambal meneteskan air mata. Dihadapannya tak ada lagi hutan yang tegak, semua hamparan dipenuhi tanaman sawit. Padahal hutan ini adalah hutan harapan terakhirnya yang ia perjuangakan.

PADA 15 MEI 2017 PATIH LAMAN MENUTUP MATA. Diusianya ke 101 tahun, ia berpulang, melepaskan seluruh kerisauannya terhadap kondisi lingkungan yang semakin tak berpihak pada masyarakat adat. Melepaskan seluruh kekesalannya terhadap sikap abai pemerintah yang diskriminatif terhadap masyarakat adat, mengambil hutan tanah mereka dan menghancurkan tatanan adat istiadat.

“Patih Laman adalah orang yang kuat, tak ada orang lain yang sangat peduli tentang adat istiadat dan lingkungan seperti dia,” ucap Gilung mengenang kembali sosok Patih Laman. Menurutnya, Patih Laman yang sudah ia anggap seperti Nenek—Kakek— sendiri sangat teguh pendiriannya untuk menyelamatkan Suku Talang Mamak.

Kerisauan Patih Laman tentang adat istiadat dan hutan adat Suku Talang Mamak kini sedang diatasi oleh penerusnya, Gading, cucunya yang kini menjadi Kepala Suku Talang Mamak. Ia bersama seluruh masyarakat berjuang memperoleh hak mereka, meneruskan perjuangan Patih Laman.

“Sudah cukup kami menjadi korban kerakusan orang-orang yang tidak memikirkan lingkungan. Hutan kami kini telah hancur, saya berharap mereka dihukum atas perbuatan mereka,” pesan Patih Laman saat itu[ii].***


[i] https://news.detik.com/tokoh/d-1561622/patih-laman-sang-pahlawan-rimba-dari-riau

[ii] https://pelitariau.com/berita/detail/11817/mengenang-40-hari-patih-laman–tutup-usia-101-tahun#:~:text=Patih%20Laman%20adalah%20pemimpin%20tertinggi,%2C%20Kalpataru%2C%20dari%20Presiden%20Megawati.

Untuk Kampung

Untuk Kampung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *