Sastrawan dan budayawan yang menjaga marwah Melayu. Marah lewat tunjuk ajar. Meninggalkan banyak karya.
Oleh Reva Dina Asri
Dua bangunan bergaya Melayu, berdiri kokoh di pinggir Jalan Raya Pasir Putih yang menghubungkan Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru. Posisinya berseberangan, hanya dibatasi sebuah gang. Berkelir biru ditambah ragam hiasan kuning keemasan. Biru melambangkan keperkasaan perairan. Sementara kuning keemasan diartikan sebagai kemegahan dan kekuasaan.
Meski bergaya selaras, namun kedua bangunan ini berbeda fungsi. Bangunan besar disebut Balai Seloso Jatuh. Ia tempat musyawarah. Sebelahnya, rumah Seloso Jatuh Kembar. Berbentuk panggung, dengan selasar lebih rendah dibanding ruang tengah. Difungsikan tempat tinggal sehar-hari.
Rumah ini kontras dengan bangunan sekitarnya. Karena perbedaan itu, pandangan orang yang melintas selalu tertuju padanya. Sang empunya adalah budayawan dan sastrawan terkemuka Riau, almarhum Tengku Nasaruddin Said Effendy atau lebih dikenal Tenas Effendy.
Seloso Jatuh Kembar dibangun Tenas dengan material kayu. Filosofi bangunan berpanggung untuk menghindari serangan hewan buas dan tidak pula mengganggu tanaman atau tumbuhan sekitarnya. Itu menunjukkan keseimbangan alam dalam nadi orang Melayu. Seperti ungkapannya, “adat berumah tidak merusak tanah.”
Tennas, lahir di Pelalawan, 9 November 1936. Ayahnya, Tengku Said Umar Muhammad Al Jufri, sekretaris pribadi Sultan Said Hasyim, Raja Pelalawan. Hidup dalam pusaran kerajaan, membuatnya banyak belajar kesusastraan Melayu, berupa gurindam, pantun, syair dan seloka. Dia, juga tak asing dengan perbincangan politik kerajaan bersama pemangku adat dan cendekiawan.
Alah bisa karena biasa. Tenas piawai merangkai kata sejak di bangku sekolah rakyat. Pada 1958, ia hijrah ke Pekanbaru sembari merambah seni tari, musik dan peran. Gubernur Riau Arifin Achmad, melirik kepandaiannya itu. Sehingga diangkat jadi Sekretaris Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Riau.
Mulai saat itu, Tenas rutin menulis dan menciptakan banyak karya seni maupun sastra. Dia berhasil menggaungkan BPKD di telinga masyarakat Riau. “Tenas Effendy memperjuangkan adat lewat tulisan-tulisannya di kesusastraan Melayu,” kata Taufik Ikram Jamil, mengingat Tenas.
Pada orde baru, sastra menjadi senjata Tennas mengkritik kebijakan Soeharto. Salah satunya lewat tunjuk Ajar Melayu. Hampir 80 persen diksinya berpatokan pada alam. Sebab dia geram dengan presiden yang membabat hutan Sumatera, khusunya Riau.
“Adat Melayu tak bisa dipisahkan dengan hutan dan alam. Keduanya saling memberikan manfaat,” ucap Taufik, Sekretaris Majelis Kerapatan Adat LAM Riau.
Tanda orang menjaga adat
Alam diajaga petuah diingat
Tanda orang memegang amanah
Pantang merusak hutan dan tanah
Tanda orang memegang amanat
Terhadap alam berhemat cermat
Tanda orang berfikiran panjang
Merusak alam ia berpantang
Tanda orang berakal senonoh
Menjaga alam hatinya kokoh
Tanda orang berbudi pekerti
Merusak alam ia jauhi
Tanda orang berfikiran luas
Memanfaatkan hutan ianya awas
Tunjuk ajar itu, mengajarkan masyarakat Riau untuk menjaga alam dan pantang merusaknya. Sebab alam dan adat berkaitan erat. Adat tak dapat berjalan tanpa lestarinya hutan. “Tunjuk Ajar Tennis Effendy banyak menyorot nilai-nilai kearifan lokal,” sambung Taufik.
Selain Tunjuk Ajar, Tennas juga dikenal melalui Syair Kera. Karangannya ini berulangkali dipentaskan lewat teater oleh sutradara Willy Fwi. Salah satu kutipan penutup syair yang menunjukkan kemarahan Tennas pada pemerintah adalah, “ketika omongan manusia sudah tidak lagi didengar, mungkin saatnya kera yang bicara.”
Begitulah Tenas, kukuh pada pendirian menjaga keseimbangan alam dan kearifan lokal Melayu. Keteguhannya merawat Melayu agar tak lekang dari bumi, mengantarkannya pada jabatan Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAM Riau 2000-2005. Dia termasuk salah satu tokoh pendiri, ketika pada 1970, Arifin Achmad berinisiatif membentuk lembaga yang fokus dengan adat di Riau.
Tennas Effendy wafat, 28 Februari 2015. Dia meninggalkan banyak karya. Upacara Tepung Tawar (1968), Lancang Kuning dalam Mitos Melayu Riau (1970), Seni Ukir Daerah Riau (1970), Tenun Siak (1971), Kesenian Riau (1971), Hulubalang Canang (1972) dan Raja Indra Pahlawan (1972).
Kemudian; Datuk Pawang Perkasa (1973), Tak Melayu Hilang di Bumi (1980), Lintasan Sejarah Kerajaan Siak (1981), Hang Nadim (1982), Upacara Mandi Air Jejak Tanah Petalangan (1984), Ragam Pantun Melayu (1985) dan Nyanyian Budak dalam Kehidupan Orang Melayu (1986).
Selian itu ada pula Cerita-cerita Rakyat Daerah Riau (1987), Bujang si Undang (1988), Persebatian Melayu (1989), Kelakar dalam Pantun Melayu (1990) dan Ulang Tahun Jordan Michael Manurung (2013).
Kecintaan Tennas terhadap budaya Melayu menjadikannya tak lekang dari bumi. Nasihat-nasihatnya dalam tunjuk ajar Melayu, jadi muatan lokal di sekolah.
Empat tahun kepergiannya, Tennas meraih gelar kehormatan Bintang Mahaputera Nararya dari negara. Presiden Joko Widodo menyematkannya pada sang putri, Tengku Hidayati Effiza.
Itu, bukan penghargaan pertama Tennas. Berkat karnya, Dia meraih penghargaan budayawan pilihan sagang (1997), tokoh masyarakat terbaik Riau 2002 versi Tabloid Intermezo Award serta penghargaan madya Badan Narkotika Nasional Jakarta (2003).
Ditambah anugerah seniman dan budayawan Riau pilihan Lisendra Dua Terbilang (LDT)-UIR (2004), anugerah gelar sri budaya junjungan negeri Bengkalis (2004), tokoh budayawan Riau terfavorit (2005), anugerah budaya Wali kota Pekanbaru (2005) serta tokoh pemimpin adat Melayu serumpun, (2005).*